Beranda | Artikel
Hukum Mewasiatkan Anggota Badannya Setelah Mati untuk Transplantasi bagi Orang Hidup
Senin, 13 Mei 2013

“Istriku, saya mungkin meninggal sebentar lagi , saya wasiatkan ginjal saya untuk anak kita yang kelainan ginjal, semoga cocok untuk dia”

Bagaimana hukumnya dalam Islam? Berikut sedikit pembahasannya

 

Ada larangan mencincang mayat dan mematahkan tulang

Yang menjadi permasalahan adalah hadits haramnya mencincang dan membelah jasad seorang muslim yang ini dilakukan dalam mewasiatkan organ dan mempelajari anatomi kedokteran (untuk hukumnya, silahkan baca: hukum membedah mayat untuk keperluan pendidikan dan otopsi). Hadits tersebut adalah,

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata,

عن جابر ـ رضي الله عنه ـ أنه قال: خرجْنا مع رسول الله ـ صلّى الله عليه وسلم ـ في جنازة فجلس النبيّ على شَفير القبر وجلسْنا معه، فأخرج الحَفّار عظمًا ـ ساقًا أو عضوًا ـ فذهب ليكسِره، فقال النبي ـ صلى الله عليه وسلم, “لا تكسرْها، فإنّ كسرَك إيّاه ميّتًا ككسرِك إياه حَيًّا، ولكن دُسَّه في جانب القبر” هذا الحديث رواه مالك وابن ماجه وأبو داود بإسناد صحيح

“Aku keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengantar jenazah, beliau duduk di pinggir kuburan dan kami pun juga demikian. Lalu seorang penggali kubur mengeluarkan tulang (betis atau anggota) dan mematahkannya (menghancurkannya). Maka nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Jangan kamu patahkan tulang itu. Kamu patahkan meski sudah meninggal sama saja dengan kamu patahkan sewaktu masih hidup. Benamkanlah di samping kuburan.”[1]

diriwayatkan oleh Sulaiman bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا أَمَّرَ أَمِيرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ أَوْصَاهُ فِي خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعْهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ خَيْرًا، ثُمَّ قَالَ: اغْزُوا بِاسْمِ اللهِ، في سَبِيلِ اللهِ، قَاتِلُوا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ، اغْزُوا وَلَا تَغُلُّوا وَلَا تَغْدِرُوا وَلَا تَمْثُلُوا وَلَا تَقْتُلُوا وَلِيدًا وَإِذَا لَقِيتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ -أَوْ خِلَالٍ- فَأَيَّتُهُنَّ مَا أََجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ، فَإِنْ أَجَابُوكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ…

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bila menetapkan seorang komandan sebuah pasukan perang yang besar atau kecil, beliau berpesan kepadanya secara khusus untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berbuat baik kepada kaum muslimin yang bersamanya, lalu beliau mengatakan: “Berperanglah dengan menyebut nama Allah, di jalan Allah. Perangilah orang yang kafir terhadap Allah. Berperanglah, jangan kalian melakukan ghulul (mencuri rampasan perang), jangan berkhianat, jangan mencincang mayat, dan jangan pula membunuh anak-anak. Bila kamu berjumpa dengan musuhmu dari kalangan musyrikin, maka ajaklah kepada tiga perkara. Mana yang mereka terima, maka terimalah dari mereka dan jangan perangi mereka. Ajaklah mereka kepada Islam, kalau mereka terima maka terimalah dan jangan perangi mereka…” [2]

 

Hukumnya bagaimana?

Hukumnya BOLEH (MUBAH) , sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama kontemporer, karena melihat dan menimbang mashlahat syar’iyyah. Dan juga menimbang dengan kaidah: bahwa mahslahat orang hidup lebih diutamakan dari mashlahat kehormatan orang yang sudah meninggal.

Berikut fatwanya:

التبرع بالعضو على أن ينقل بعد الموت، فالراجح عندنا جوازه. لما فيه من المصالح الكثيرة التي راعتها الشريعة الإسلامية، وقد ثبت أن مصالح الأحياء مقدمة على مصلحة المحافظة على حرمة الأموات. وهنا تمثلت مصالح الأحياء في نقل الأعضاء من الأموات إلى المرضى المحتاجين الذين تتوقف عليها حياتهم، أو شفاؤهم من الأمراض المستعصية.

مع العلم بأن في المسألة أقوالاً أخرى، ولكنا رجحنا هذا الرأي لما رأينا فيه من التماشي مع مقاصد الشريعة التي منها التيسير، ورفع الحرج، ومراعاة المصالح العامة، وارتكاب الأخف من المفاسد، واعتبار العليا من المصالح.

والتبرع بما ذكر في الحالتين مشروط بأن يكون المتبرَّع له معصوم الدم ، أي أن يكون مسلماً أو ذمياً، بخلاف الكافر المحارب.

Mewasiatkan anggota badan setelah meninggal maka pendapat terkuat adalah Boleh (mubah). Karena adanya mashlahat syar’iyyah yang banyak dalm hal ini. Dan terdapat kaidah bahwa mahslahat orang hidup lebih diutamakan dari mashlahat kehormatan orang yang sudah meninggal. Terdapat mashlahat bagi orang yang hidup dengan memindahkan anggota badan dari orang yang mati kepada orang sakit yang membutuhkan dimana kehidupan mereka tergantung padanya (misalnya ginjal, pent) atau mereka bisa sembuh dari penyakit yang kronis (misalnya kekurangan darah karena penyakit sum-sum tulang, pent)

Meskipun diketahui adanya pendapat lain dalam masalah ini, akan tetapi kemi menguatkan pendapat yang kami lihat tercapainya maqasid syariat (salah satu dari maqasid adalah terjaganya jiwa, pent), kemudian menghilangkan kesusahan dan memperhatikan mashlahat umum, serta memilih mafsadah yang paling kecil dan mengambil mashlahat yang paling baik.

Mewasiatkan anggota badan yang kami sebutkan mempunyai syarat yaitu orang yang diberikan (penerima donor anggota badan) adalah orang yang terjaga darahnya (tidak berhak dibunuh) seperti seoranng muslim atau kafir dzimmi (orang kafir yang tinggal di negara kaum muslimin dan mendapat perlindungan dari pemerintah), bukan orang kafir yang diperangi.[3]

 

Demikian juga fatwa dari Majma’ al-Fiqh al-Islami, Bolehnya memindahkan anggota tubuh dari orang mati ke orang hidup.

يجوز نقل عضو من ميت إلى حي تتوقف حياته على ذلك العضو، أو تتوقف سلامة وظيفة أساسية فيه على ذلك؛ بشرط أن يأذن الميت أو ورثته بعد موته، أو بشرط موافقة ولي المسلمين إن كان المتوفى مجهول الهوية أو لا ورثة له

Boleh hukumnya memindahkan organ tubuh mayyit kepada orang hidup yang sangat bergantung keselamatan jiwanya dengan organ tubuh tersebut, atau fungsi organ vital sangat tergantung pada keberadaan organ tersebut. Dengan syarat si mayit atau ahli warisnya mengizinkan. Atau dengan syarat persetujuan pemerintah muslim jika si mayyit seorang yang tidak dikenal identitasnya dan tidak memiliki ahli waris.[4]

 

Mewasiatkan boleh tetapi tidak boleh menjual anggota badan

Karena badan kita hanya titipan saja dari Allah, maka kita tidak boleh menjualnya. Demikian juga fatwa dari Majma’ al-Fiqh al-Islami,

وينبغي ملاحظة أن الاتفاق على جواز نقل العضو في الحالات التي تم بيانها، مشروط بأن لا يتم ذلك بوساطة بيع العضو. إذ لا يجوز إخضاع الإنسان للبيع بحال م

Perlu diperhatikan bahwa kesepakatan bolehnya memindahkan organ tubuh yang dijelaskan di atas, disyaratkan tidak dilakukan dengan cara jual beli organ tubuh, karena jual beli organ tubuh tidak diperbolehkan sama sekali[5]

 

Demikian semoga bermanfaat,

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

 

@FK UGM, 3 Rajab 1434 H

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

silahkan like fanspage FB dan follow twitter

 

 


[1] HR Malik, Ibnu Majah, Abu Daud dengan sanad yang shahih

[2]  HR. Muslim

[3] Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=11667

[4] Sumber: Fatawa lit thabibil Muslim, sumber: http://www.saaid.net/tabeeb/15.htm

[5] idem


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/hukum-mewasiatkan-anggota-badannya-setelah-mati-untuk-transplantasi-bagi-orang-hidup.html